Senin, 04 November 2013

Puisi-Matahari Pukul Dua Belas-Rio Rakasiwi

Sinar matahari menyentuh tanah ini
Menerobos ke daun-daun kering dan berlubang
Sebuah daun di ujung ranting kering kecil yang merindukan embun
Tanah-tanah tandus retak seakan ini bencana
Mungkin bumi akan terbelah mengikuti garis-garis kecil di atasnya
Karena sejuk yang kemarin memejam tak lagi bangun, hati ini atau nanti

Melalui pria pengangguran yang masih di atas kasur mereka
Bermimpi jadi bos, bermimpi jadi penguasa, bermimpi beristri seksi
Setengah bangun dengan tetes-tetes keringat pemalasnya yang mengembun
Seperempat mata terbuka mencoba focus mencari waktu
Kepala menunduk ditumpuk caliber berat pikiran
Mencoba mencari detak jantung yang berisik selagi mengusap embun didadanya
Menggeram, menggerutu menyalahkan matahari

Karena pengendara motor yang berlomba menarik gasnya
Asap-asap kecil mengumpul membentuk gumpalan ngeri
Karbon dioksida, monodioksida semakin keatas
Ditiup tumbuhan, terhempas angin, menyentuh langit yang tak lagi indah
Dengan anak-anak kecil dibawahnya yang bermain
Memotong batang-batang kecil tumbuhan mengikuti ayahnya sang penebang
Gumpalan asap diatas mereka

Kita di bom Amerika,
Menjerit, menangis, berteriak berharap hari ini tidak kiamat
Haruskah tak ada montor? Tak ada mobil?
Lalu bagaimana nasib Jepang dengan Hondanya?
Nasib Indonesia dengan pemalanya yang tak sanggup lagi berjalan?
Kiamat pun mereka tak mau susah

Matahari pukul dua belas,
Kini tumbuhan kering tersisa untuk menjadi pengemis
Merayap melalui ranting-ranting gundul dan keringnya
Mengemis pada awan, mengemis pada manusia

Kini hanya tinggal lukisan monalisa karya Da Vinci
Terpampang dengan senyum sendu di museum Louvre, Paris
Meratapi buni yang semakin mengerucut waktunya
Atmosver yang semakin tipis menyelimuti bumi
Hanya monalisa yang takut orang tak lagi memandangnya sebagai seni
Dijual, ditukar untuk beberapa gelas air saja

Karya: Rio Rakasiwi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar