Sabtu, 26 Oktober 2013

TENTANG SOSROKARTONO

SOSROKARTONO Pribumi Yang mendunia
Diantara kita pati sudah ada yang tahu tentang Raden Mas Panji Sosrokartono, ya dia adalah kakak dari Kartini, pahlawan emansipasi wanita yang selalu kita peringati kelahirannya pada tanggal 21 April. Pasti pada bertanya – tanya mengapa kita tidak menyebutkan gelar kebangsawanannya? Karena Kartini tidak mau disebut atau menggunakan nama bangsawannya. Kita tidak akan mengulas sejarah Kartini, karena kebanyakan dari kita pasti sudah tahu tentang pahlawan emansipasi ini. Dibawah ini kita akan mengulas sedikit tentang sejarah kehidupan Sosrokartono.
Lahir di Mayong pada Rabu Pahing tanggal 10 April 1877 dengan nama Raden Mas Panji Sosrokartono, putra dari R.M. Adipati Ario Sosroningrat bupati Jepara masa itu dengan Nyai Ngasirah, nama gedung wanita di Kudus diambil dari nama Nyai Ngasirah.
Sejak kecil Kartono –nama panggilan Sosrokartono- (seperti nama KepSek SAJOKU sebelum P. Shodiqun, piss pak,,)  sudah memiliki keistimewaan, ia cerdas dan dapat membaca masa depan dengan baik. Beliau memulai pendidikannya di Jepara hingga tamat dari Eropes Lagere School, dan melanjuntukan pendidikannya ke H.B.S. di Semarang. Pada tahun 1898 Kartono meneruskan sekolahnya ke negeri Belanda.
Di Belanda awalnya belajar di Delft, pindah ke sekolah Teknik Tinggi di Leiden, karena merasa tidak cocok pindah lagi ke Jurusan Bahasa dan Kesustraan Timur. Beliau adalah mahasiswa Indonesia pertama yang meneruskan pendidikan ke negeri Belanda, yang kemudian disusul putra pribumi lainnya. Dengan menggenggam gelar Docterandus in de Oostersche Talen dari Perguruan Tinggi Leiden, Kartono dapat melalang buana ke seluruh Eropa, menjelajahi berbagai pekerjaan, diantaranya : bekerja sebagai penerjemah di Wina yang terkenal dengan julukan Si jenius dari Timur, Staf Kedutaan Besar Perancis di Den Hag, dan wartawan beberapa koran dan majalah Eropa.
Pada tahun 1917, koran Amerika The New York Herald Tribune, di Wina Austria, membuka lowongan kerja untuk posisi wartawan perang untuk meliput pada I. Salah satu tes adalah menyingkat – padatkan sebuah berita dalam bahasa Perancis yang panjangnya satu kolom menjadi berita yang terdiri kurang lebih 30 kata, dan harus ditulis dlm 4 bahasa yaitu Inggris, Spanyol, Rusia, dan Perancis. Kartono, putra Bumiputra yang ikut melamar, berhasil meringkas berita menjadi 27 kata, sedangkan pelamar yang lain rata- rata hanya dapat meringkas lebih dari 30 kata. Persyaratan lainnya juga dapat dipenuhi Kartono sehingga ia terpilih sbagi wartawan perang koran bergengsi Amerika, The New York Hearld Tribune. Dalam buku Memoir Drs. Moh. Hatta menceritakan bahwa Kartono digaji US $ 1250, dan dapat hidup mewah di Eropa. Kartono juga sering mengirim buku dan buletin kepada adiknya yang tidak lain adalah Kartini. Buku kiriman Kartono inilah yang kelak menjadi pencerahan bagi Kartini untuk mendobrak tradisi dan melahirkan emansipasi wanita di Nusantara. Supaya pekerjaannya lancar, beliau juga diberi pangkat Mayor oleh Panglima Perang AS, namun menolak untuk dipersenjatai. Salah satu keberhasilannya adalah berhasil memuat hasil perjanjian rahasia antara tentara Jerman yang menyerah dan tentara Perancis yang menang perang.
     Kartono seorang poligot ( ahli banyak bahasa), menguasai 24 bahasa asing antara lain Belanda, Austria, Perancis, Inggris, Rusia, Yunani, Latin, India, Cina, Jepang, Arab,dan Basque ( suku bangsa Spanyol). Juga menguasai 10 bahasa suku Tanah Air. Dengan pengetahuan dan kecakapan bahasa yang dimiliki, Kartono memberanikan diri menemui Gubernur Jendral Rooseboom pada tgl 14 Agustus 1899. Pada pertemuan ini Kartono meminta kepada Rooseboom untuk benar – benar memperhatikan pendidikan dan pengajaran kaum pribumi di Hindia Belanda. Dosen pembimbingnya di Universitas Leiden, Prof. J.H.C. Kern mengundang Kartono untuk menjadi pembicara dalam Kongres Bahasa dan Sastra Belanda ke-25 di Gent, Belgia pada bulan September 1899. Dalam kongres yang membicarakan Bahasa dan Sastra Belanda di berbagai negara itu, Kartono mempersoalkan hak kaum pribumi di Hindia Belanda yang tidak terpenuhi pemereintah jajahan. Dalam pidato yang berjudul Het Nederlandsch in Indie ( Bahasa Belanda di Indonesia), Kartono mengungkapkan  dengan tegas “saya menyatakan diri saya sebagai musuh dari siapa pun yang akan membikin kita ( Hindia Belanda) menjadi bangsa Eropa atau setengah Eropa dan akan menginjak – injak tradisi serta adat kebiasaan kita yang luhur lagi suci. Selama matahari dan rembulan bersinar, maka akan saya tantang!.” Keluhuran tradisi itulah yang menuruut Kartono harus dipertahankan orang pribumi di mana saja berada. Dengan cakrawala pengetahuan yang terbuka, Kartono meminta pemerintah jajahan agar bahasa Belanda dan bahasa Internasional lainnya diajarkan di Hindia Belanda, untuk mempertahankan kemuliaan tradisi dan harga diri mereka.
Tahun 1919 didirikan Liga Bangsa – Bangsa ( LBB) atas prakarsa Presiden AS Woodrow Wilson. Dari tahun 1919 hingga 1921, Kartono menjabat sebagai Kepala penerjemah untuk semua bahasa yang digunakan di LBB, mengalahkan poligot – poligot dari Eropa dan Amerika sehingga meraih jabatan itu. Pada thn yang sama, juga diangkat sebagai Atase Kebudayaan di Kedubes Perancis di Belanda. Hingga suatu ketika terdengar berita tentang sakitnya seorang anak yang berumur 12 tahun, anak itu menderita sakit keras yang tidak dapat disembuhkan meski diobati oleh beberapa dokter terkenal Eropa. Dengan dorongan hati yang penuh dengan cinta kasih dan hasrat yang besar untuk meringankan penderitaan orang lain, saat itu juga beliau menjenguk anak itu. Sesampainya disana, beliau langsung meletakkan tangannya di atas dahi anak tersebut dan terjadilah keajaiban. Suddenly, anak itu membaik dengan hitungan detik, dan hari itu pula anak itu sembuh seperti sediakala. Kejadian itu membuat orang yang hadir terheran – heran, termasuk juga para dokter yang mencoba mengobati anak itu. Setelah itu seorang ahli Psychiatrie n Hypnose menjelaskan bahwa Kartono memiliki daya pesoonalijke magneetisme yang sangat besar tanpa disadari oleh Kartono. Mendengar penjelasan itu, akhirnya beliau merenungkan diri dan memutuskan menghentikan pekerjaannya di Jenewa ( Swiss) dan pergi ke Paris ( Perancis) untuk belajar Psychometrie dan Psychotecniek di perguruan tinggi di kota itu. But, karena beliau adalah lulusan Bahasa dan Sastra, maka beliau hanya diterima sebagai toehoorder, sebab di Perguruan Tinggi tersebut secara khusus hanya menyediakan untuk mahasiswa lulusan medisch dokter. Beliau kecewa karena hanya dapat mengikuti sedikit mata kuliah, tidak sesuai dengan yang diinginkan beliau. Ditengah kekecewaannya beliau memutuskan kembali ke Tanah Air setelah 29 thn melalang buana di Eropa sejak tahun 1897.
Pangeran dari tanah Jawa itu pun pulang. Beliau ingin mendirikan sekolah seperti yang dicita – citakan mendiang adiknya, Kartini. Beliau juga ingin mendirikan perpustakaan untuk menghimpun dana, mulanya beliau melamar menjadi koresponden The New York Herald untuk Hindia Belanda, namun koran itu telah berganti pemilik dan merger dengan koran lain. Dalam suratnya kepada Abendanon, Kartono menyatakan kekecewaannya, sesampainya di Jawa, beliau dicap sebagai komunis oleh pemerintah jajahan. “Itu merupakan bentuk fitnah yang sangat keji yang saya rasakan, namum saya tidak berdaya terhadapnya, tapi kepada Anda, Nyonya yang mulia, saya bersumpah atas kubur ayah dan adik saya Kartini, bahwa saya sama sekali tidak pernah menganut paham komunis, dulu tidak, sekarangpun tidak. tidak ada yang lebih saya inginkan daripada bekerja untuk pendidikan mental sesama bangsa saya, dalam artian yang telah dimaksudkan oleh Kartini.” Tulis Kartono dalam suratnya untuk Abendanon.
     Di Indonesia, Kartono kemudian menggalang dukungan dari kelompok pergerakan Indonesia. Beliau menemui Ki Hajar Dewantara. Bapak pendidikan itu kemudian mempersilahkan Kartono membangun perpustakaan di gedung Taman Siswa Bandung. Beliau pun diangkat menjadi kepala Sekolah Menengah Nasional di sini. Mendirikan Darussalam, sebuah perpustakaan, sekolah, n rumah pengobatan. “Perpustakaan ini tidak disebut dengan nama yang lazim melainkan lambang dari suatu pengertian baru, suatu cita- cita baru. Namanya Darussalam, yang memiliki arti rumah kedamaian.”  Tulis Kartono dalam surat untuk Abendanon. Buku–buku perpustakaan itu disumbang oleh 02 orang insinyur perusahaan kereta api Staats Spoorwegen, 3 orang partikelir bangsa Belanda, 03 orang Jawa, dan 01 orang Tionghoa. “ Semboyannya tanpo rupo tanpo sworo, yang berarti tidak berwarna, tiada perbedaan, tiada perselisihan” ucap Kartono. Pada dinding Darussalam ada pula secarik kertas putih yang berisi nasihar Kartono bertuliskan “ sugih tanpa banda, digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake.” ( menang tanpa harta, sakti tanpa azimat, menyerbu tanpa pasukan, menang tanpa merendahkan yang dikalahkan). Di perpustakaan inilah tokoh pergerakan INDONESIA sering berkumpul, termasuk Ir. Soekarno juga diminta mengajar disekolah itu bersama Dr. Samsi n Soenarjo SH. Gedung ini juga dipakai oleh Partai Nasional Indonesia dan Indonesisch Nationale Padvinders Organisastie pimpinan Abdoel Rachim ( mertua bung Hatta). pada saat yang bersamaan, ia menyaksikan orang – orang kelaparan dan diserang berbagai penyakit. Kartono pun kemudian menjalankan laku puasa bertahun – tahun untuk merasakan apa yang dirasakan saudaranya. Menggunakan Darussalam sbagi tempat pengobatan. Pada setiap pengobatan, biasanya Kartono hanya memberikan air putih dan secarik kertas bertuliskan huruf Alif ( singkatan dari Allah) kepada pasien. Cerita air putih, Alif, dan wejangan-wejangan hidup dalam bahasa Jawa. Kemudian mengalir menjelmakan Kartono sebagai seorang penyembuh. Meskipun tidak memiliki murid, di kemudian hari Kartono memilik pengikut. Paguyuban Sosrokartono dan komunitas pecinta SOSROKARTONO,  kini telah ada di empat kota yaitu Jakarta, Yogyakarta, Semarang, dan Surabaya.
Menurut Kayanto Soepardi, putra asisten Kartono, menyatakan bahwa Darussalam tidak pernah sepi. Tamunya mulai dari orang Belanda, pribumi, hingga Cina peranakan. Ia juga menyatakan pernah melihat Bung Karno datang menemui Kartono. Saat itu Kartono menggoreskan huruf Alif di atas kertas putih seukuran perangko dan menyelipkannya ke dlm peci Bung Karno, entah untuk apa. Bung Karno juga sering datang untuk belajar bahasa kepada Kartono. Juga menurut Kayanto, Kartono tidak pernah lepas dari sebuah tongkat, beskap warna putih lengan panjang, topi yang mirip mahkota warna hitam dan mengalungkan tasbih yang menggantung hingga dadanya,  janggutnya sebagian telah memutih, sorot matanya tajam, dan lebih banyak diam.
Sejak 1942, separuh dari badan Kartono lumpuh. Meskipun separuh tubuhnya lumpuh, Kartono masih menerima ratusan tamu yang datang dg berbagai kepentingan, mulai dari sekedar meminta nasihat, belajar bahasa asing, hingga mengobati berbagai macam penyakit. Kartono mangkat tahun 1952, 10 tahun sejak sakit yang menimpanya tanpa meninggalkan istri dan anak. Beliau dimakamkan di pemakaman umum Sedo Mukti, desa Kaliputu, Kudus. Di sebelah kiri makam Kartono terdapat makam ayahnya RMA Sosroningrat dan ibunya Nyai Ngasirah. Di dinding pagar besi makam Kartono terpasng tulisan huruf Alif dlm bingkai kaca seukuran 10R. Di bawahnya terdapat foto Kartono menggunakan setelan jas ala Barat. Di nisan sebelah kiri tercantum kata terpilih Kartono “ sugih tanpa banda, digdaya tanpa aji”. Di nisan sebelah kanan tercantum kalimat “ Trimah mawi pasrah, suwung pamrih tebih ajrih, langgeng tan ana susah tan ana bungah, anteng manteng sugeng jeneng”.                            Imro’atul XI S3

Minggu, 20 Oktober 2013

SENJAKALA KERAJINAN BAMBU DESA JEPANG



Senjakala Kerajinan Bambu Jepang

KERAJINAN Desa Jepang di Kabupaten Kudus, bisa dibilang sangat populer. Berbagai produksi kerajinan itu, antara lain besek, tambir, tetek, ekrak, kere’, hingga kurungan ayam dan sangkat burung.  Namun nasib kerajinan tradisional turun temurun ini, kini mengkhawatirkan dan terancam punah.
Bahkan, para pengrajin pun tidak ada yang benar-benar ikhlas anaknya meneruskan profesinya menjadi pengrajin bambu. ‘’Kalau bisa nyari pekerjaan lain yang lebih menjanjikan,’’ ujar Sulistiana (36).
Saat ditemui Oasis dia menjelaskan, ia menekuni membuat besek sejak 17 tahun lalu selepas keluar dari bekerja di salah satu perusahaan rokok di Kudus. Ibu tiga anak ini mengisahkan, awal belajar membuat besek dari orang-orang tua pendahulunya.
‘’Dulu belajarnya dari sering melihat orang-orang tua membuat besek. Tidak sulit membuatnya, karena ini kerajinan yang sudah ada turun temurun,’’ katanya saat ditemui di rumahnya. 
Apakah besek tidak tergeser dengan keberadaan kardus di era modern saat ini? ‘’Tidak. Besek masih tetap laku dan banyak peminta, karena ada kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki kardus. Seperti lebih kuat dan tahan saat ditumpuk,’’ terangnya.
Maka tidak heran jika besek ini pemasarannya tidak mengalami kesulitan. Sebab, selalu ada pesanan dan jika tidak ada pesanan, diambil bakul-bakul. ‘’Paling ramai biasanya pas Idul Adha dan maulud Nadi saat ada tradisi golok-golok menthok,’’ jelasnya.
Suwarti (50), ibu dengan empat anak dan enam cucu ini lebih memilih membuat kerajinan tetek ketimbang bekerja di perusahaan rokok. ‘’Tetek biasanya digunakan untuk menjemur mie atau krupuk,’’ tuturnya. 
Proses pembuatan tetek, katanya, tidak jauh berbeda dengan membuat besek. ‘’Tetek anyamannya lebih longgar dan bambunya keras. Ukurannya juga lebih besar. Kalau besek anyamannya rapet dan bambunya halus, ukurannya lebih kecil, hanya tiga jengkal.
Mengenai harga jual, perbuah sekitar Rp. 4.000. ‘’Sehari bisa menganyam paling tidak dua buah, ini kalau sudah mulai proses-proses sebelumnya. Pasar tetek lebih bagus pas musim hujan, karena buat penyimpan mie agar tidak busuk, terangnya.

Masih Dicari
Tutianah (29), pengrajin kerajinan bambu lain, membuat sangkar burung dan kandang ayam. Dia mengaku bergelut dengan kerajinan bambu sejak kecil. ‘’Saya membuat besek sejak kecil. Kalau mengembangkan sangkar burung sekitar satu tahun terakhir, dan kandang ayam sekitar tiga tahun lalu.’’
Biasanya, sangkar burung dan kandang ayam diambil orang untuk dijual di luar kota. ‘’Kalau tidak, diambil pengepul. Harga sangkar burung ukuran 60 cm  kurang lebih Rp 40.000 sedang yang ukuran 50 cm Rp. 30.000.
Proses pembuatan kerajinan ini, dimulai dengan membelah bambu gelondongan, lalu dipisahkan kulitnya, dijemur sekitar jam. Selanjutnya diruncingkan kemudian dimasukkan ke alat penyerut, baru dijemur, dihaluskan, dan dibentuk.
‘’Kendala yang dihadapi adalah persoalan cuaca dan  mendapatkan bahan baku (bambunya,’’ katanya. ‘’Bahan baku (bambu) beli di agen sekitar Desa Gulang dan Desa Mejobo,’’ lanjutnya menambahkan.
Ratmi (45), salah satu pedagang yang banyak menjual kerajinan bambu mengutarakan, banyak orang yang mencari kerajinan-kerajinan bambu, seperti ekrak, corong, irik, tambir, tampah, ayakan gabah, kalo, dan kurungan ayam.’’ 
Kendati saat ini banyak alat-alat rumah tangga yang terbuat dari plastik, namun menurut pengakuan Ratmi yang sudah berjualan kerajinan bambu sejak enam tahun terakhir, kerajinan bambu masih sangat diminati. ‘’Kerajinan bambu justru banyak dicari, karena lebih kuat dan tahan lama,’’ tuturnya. (Ichda Rachmawati, Ndaru Retno Wardani, M Mambaul Huda)

Senjakala Kerajinan Bambu Jepang



Senjakala Kerajinan Bambu Jepang

KERAJINAN Desa Jepang di Kabupaten Kudus, bisa dibilang sangat populer. Berbagai produksi kerajinan itu, antara lain besek, tambir, tetek, ekrak, kere’, hingga kurungan ayam dan sangkat burung.  Namun nasib kerajinan tradisional turun temurun ini, kini mengkhawatirkan dan terancam punah.
Bahkan, para pengrajin pun tidak ada yang benar-benar ikhlas anaknya meneruskan profesinya menjadi pengrajin bambu. ‘’Kalau bisa nyari pekerjaan lain yang lebih menjanjikan,’’ ujar Sulistiana (36).
Saat ditemui Oasis dia menjelaskan, ia menekuni membuat besek sejak 17 tahun lalu selepas keluar dari bekerja di salah satu perusahaan rokok di Kudus. Ibu tiga anak ini mengisahkan, awal belajar membuat besek dari orang-orang tua pendahulunya.
‘’Dulu belajarnya dari sering melihat orang-orang tua membuat besek. Tidak sulit membuatnya, karena ini kerajinan yang sudah ada turun temurun,’’ katanya saat ditemui di rumahnya. 
Apakah besek tidak tergeser dengan keberadaan kardus di era modern saat ini? ‘’Tidak. Besek masih tetap laku dan banyak peminta, karena ada kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki kardus. Seperti lebih kuat dan tahan saat ditumpuk,’’ terangnya.
Maka tidak heran jika besek ini pemasarannya tidak mengalami kesulitan. Sebab, selalu ada pesanan dan jika tidak ada pesanan, diambil bakul-bakul. ‘’Paling ramai biasanya pas Idul Adha dan maulud Nadi saat ada tradisi golok-golok menthok,’’ jelasnya.
Suwarti (50), ibu dengan empat anak dan enam cucu ini lebih memilih membuat kerajinan tetek ketimbang bekerja di perusahaan rokok. ‘’Tetek biasanya digunakan untuk menjemur mie atau krupuk,’’ tuturnya. 
Proses pembuatan tetek, katanya, tidak jauh berbeda dengan membuat besek. ‘’Tetek anyamannya lebih longgar dan bambunya keras. Ukurannya juga lebih besar. Kalau besek anyamannya rapet dan bambunya halus, ukurannya lebih kecil, hanya tiga jengkal.
Mengenai harga jual, perbuah sekitar Rp. 4.000. ‘’Sehari bisa menganyam paling tidak dua buah, ini kalau sudah mulai proses-proses sebelumnya. Pasar tetek lebih bagus pas musim hujan, karena buat penyimpan mie agar tidak busuk, terangnya.

Masih Dicari
Tutianah (29), pengrajin kerajinan bambu lain, membuat sangkar burung dan kandang ayam. Dia mengaku bergelut dengan kerajinan bambu sejak kecil. ‘’Saya membuat besek sejak kecil. Kalau mengembangkan sangkar burung sekitar satu tahun terakhir, dan kandang ayam sekitar tiga tahun lalu.’’
Biasanya, sangkar burung dan kandang ayam diambil orang untuk dijual di luar kota. ‘’Kalau tidak, diambil pengepul. Harga sangkar burung ukuran 60 cm  kurang lebih Rp 40.000 sedang yang ukuran 50 cm Rp. 30.000.
Proses pembuatan kerajinan ini, dimulai dengan membelah bambu gelondongan, lalu dipisahkan kulitnya, dijemur sekitar jam. Selanjutnya diruncingkan kemudian dimasukkan ke alat penyerut, baru dijemur, dihaluskan, dan dibentuk.
‘’Kendala yang dihadapi adalah persoalan cuaca dan  mendapatkan bahan baku (bambunya,’’ katanya. ‘’Bahan baku (bambu) beli di agen sekitar Desa Gulang dan Desa Mejobo,’’ lanjutnya menambahkan.
Ratmi (45), salah satu pedagang yang banyak menjual kerajinan bambu mengutarakan, banyak orang yang mencari kerajinan-kerajinan bambu, seperti ekrak, corong, irik, tambir, tampah, ayakan gabah, kalo, dan kurungan ayam.’’ 
Kendati saat ini banyak alat-alat rumah tangga yang terbuat dari plastik, namun menurut pengakuan Ratmi yang sudah berjualan kerajinan bambu sejak enam tahun terakhir, kerajinan bambu masih sangat diminati. ‘’Kerajinan bambu justru banyak dicari, karena lebih kuat dan tahan lama,’’ tuturnya. (Ichda Rachmawati, Ndaru Retno Wardani, M Mambaul Huda)