DEmi SAmi
Relung waktu Regina akan segera
berganti, tiap sekon akan menjadi nyawa bagi jiwanya. Namun, sebuah nama tetap
saja mengikuti. Bagaimana mungkin ia tidak gontai sedangkan otaknya hanya ada separuh
nama itu
“SaMi,…
Biarkan aku memilikimu”
Sekalipun ia tak pernah melirikku, apalagi
menyapa dengan mulut manisnya. Boro-boro menyapa, mendengar jinjitan kaki ku saja
ia sudah dengan sigap memacu tenaganya untuk berlalu.
Apa itu yang namanya cinta?
Aku selalu saja dikecewakan keadaan saat
moment terpenting ada di hadapanku. Pernah pula ia menyiramkan air dingin ke serebrumku.
Disaat itu pula aku hanya diam, terisak, dan mencacinya dalam note sebagai kutukan dari hati.
Tapi, kenyataannya ia hanya mematung di hadapanku,
yang membuat aku tak tahan untuk memutuskan hati darinya.
“SaMi, Gejolakku,
panasku, dinginku, laparku, serta hausku kini telah menyelimuti serebellumku,”
Aku benar-benar tak tahan olehmu. Ingin
sekali aku membuat rencana jahat, yang endingnya akan menyatukan dua pemikiram
yang berbeda. Betapa beruntungnya aku, bila itu benar-benar terjadi.
****
Tiga tahun mengenal tanpa akrab,
tiga tahun mengenal tanpa hati, tiga tahun pula mengenal tanpa ambisi. Hanya ambisi
Gina saja yang terlalu menginginkan SaMi, padahal SaMi, tak lebih memandangnya dari
seekor semut. Yang kadang tanpa tersengaja terinjak dan mati.
****
“Awalnya memang SaMi cuek, tapi siapa
bilang ia tak mungkin ditakhlukan?”
“Toh aku bisa belajar pada tetesan air
untuk menghancurkan batu.” Begitu ujar Regina
Tiada yang menyangka kalau pada akhirnya
SaMi yang begitu cuek mau menempel di serebrumku
yang hanya pas-pasan. Asal punya selidik, ternyata awal pertemuanku dengan
SaMi didominasi oleh sifatku yang polos, rajin, dan selalu aktif dalam segala
hal.
SaMi yang belum tahu sifat asli si gadis
pesimis itu langsung saja terbuai, karena dirasa gadis itu punya ruang serebrum yang cukup lumayan. Hmm, pantas
saja, SaMi mau dekat dengannya dengan cuma-cuma. Padahal, SaMi hanya mau dekat
dengan orang-orang yang punya serebrum tingkat
tinggi.
SaMi, taukah apa yang kurasakan pada
saat itu?
Bahagia? Tidak hanya itu, dan lebih dari
itu. Aku sungguh-sungguh sangat amat bahagia dapat bersamamu. Untuk sekedar
menjejaki lorong waktu bersama,
Bahkan kamu mau sekedar bercengkrama di serebrumku. Ah… Aku merasa menjadi wanita
yang beruntung karena sempat memiliki nyawa SaMi.
Ya, meskipun hanya tiga puluh persennya.
Selang hari, Gina merasakan ada yang
berubah dari SaMi. Serebrumnya seperti ingin pisah dengan sosok SaMi, entah
apa alasannya Gina masih tak mengerti. Sepertinya SaMi yang banyak berubah,
perubahan terbesarnya menyulitkan Gina untuk memahaminya kembali. Rasanya ingin
menampar dan menjambaki dengan tangan kanannya sendiri.
“Sungguh-sungguh memuakkan jika
mendengar namamu kembali”.
****
Dipertemukan lagi dengan SaMi adalah kesengsaraan bagi Gina sedangkan
memiliki adalah mustahil bagi hidupnya. Namun, tak dapat di helak lagi, Gina
dan SaMi memang harus bertemu kembali dalam suasana asam maupun basa.
Ketika itu pula perjuangan cinta dan
perang akan dimulai sedini mungkin, karena Gina tahu SaMi selalu menguji
kesetiaan dan cintanya.
“Aku tak takut, hanya saja kesal; Aku
tak benci, hanya saja panas; Aku tak akan galap, tapi hanya akan buram sesaat”
“Ijinkan aku memasuki pilar-pilarmu,
kumohon SaMi, bukakan hatimu untukku.
Aku tak sanggup menapaki aspal yang panas tanpa uluran tangannmu. Biarkan aku
menelusup dibalik misteri cerita hidupmu, karena aku tahu dibalik semua ini ada
cerita indah bagi siapa saja yang
mampu memecahkan balok dalam guratan beton” sendu Gina dari dalam hatinya yang
amat dalam.
***
“Sidang
pembuktian akan segera ku mulai, salah satu factor penentu keberhasilanku adalah
pilar SaMi Keinginan akan adanya keajaiban yang dapat menyulap diriku menjadi
lebih menarik saat kau pandang, terus mendumel di serebrum. Sehingga ketika kau
melihatku kau mau bergandengan dan bernegosiasi untuk satu cita. Namun lagi-lagi kegontaian akan
menertawakanku bila pilarmu meleset bahkan lenyap dari penyimpanan sederhana di
serebrumku. Percaya padaku, hinggaplah dinyawaku, dan hiduplah pada otak ini.”
Trigonometri,
3 September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar