Senjakala Kerajinan
Bambu Jepang
KERAJINAN Desa
Jepang di Kabupaten Kudus, bisa dibilang sangat populer. Berbagai produksi
kerajinan itu, antara lain besek, tambir, tetek, ekrak, kere’, hingga kurungan
ayam dan sangkat burung. Namun nasib
kerajinan tradisional turun temurun ini, kini mengkhawatirkan dan terancam
punah.
Bahkan, para
pengrajin pun tidak ada yang benar-benar ikhlas anaknya meneruskan profesinya
menjadi pengrajin bambu. ‘’Kalau bisa nyari pekerjaan lain yang lebih
menjanjikan,’’ ujar Sulistiana (36).
Saat ditemui Oasis
dia menjelaskan, ia menekuni membuat besek sejak 17 tahun lalu selepas keluar
dari bekerja di salah satu perusahaan rokok di Kudus. Ibu tiga anak ini
mengisahkan, awal belajar membuat besek dari orang-orang tua pendahulunya.
‘’Dulu belajarnya
dari sering melihat orang-orang tua membuat besek. Tidak sulit membuatnya, karena ini
kerajinan yang sudah ada turun temurun,’’ katanya saat ditemui di
rumahnya.
Apakah besek tidak
tergeser dengan keberadaan kardus di era modern saat ini? ‘’Tidak. Besek masih
tetap laku dan banyak peminta, karena ada kelebihan-kelebihan yang tidak
dimiliki kardus. Seperti lebih kuat dan tahan saat ditumpuk,’’ terangnya.
Maka tidak heran
jika besek ini pemasarannya tidak mengalami kesulitan. Sebab, selalu ada
pesanan dan jika tidak ada pesanan, diambil bakul-bakul. ‘’Paling ramai
biasanya pas Idul Adha dan maulud Nadi saat ada tradisi golok-golok menthok,’’
jelasnya.
Suwarti (50), ibu dengan empat anak dan enam cucu ini lebih memilih membuat
kerajinan tetek ketimbang bekerja di perusahaan rokok. ‘’Tetek
biasanya digunakan
untuk menjemur mie atau krupuk,’’ tuturnya.
Proses pembuatan
tetek, katanya, tidak jauh berbeda dengan membuat besek. ‘’Tetek
anyamannya lebih longgar dan bambunya keras. Ukurannya juga lebih besar. Kalau besek anyamannya rapet dan
bambunya halus, ukurannya lebih kecil, hanya tiga jengkal.”
Mengenai harga
jual, perbuah sekitar Rp. 4.000. ‘’Sehari bisa menganyam paling tidak dua buah, ini kalau sudah mulai proses-proses sebelumnya. Pasar
tetek lebih bagus pas musim hujan, karena buat penyimpan mie agar tidak busuk,” terangnya.
Masih Dicari
Tutianah (29), pengrajin kerajinan bambu lain, membuat sangkar burung
dan kandang ayam. Dia mengaku bergelut dengan kerajinan bambu sejak kecil.
‘’Saya membuat besek sejak kecil. Kalau mengembangkan sangkar burung sekitar
satu tahun terakhir, dan kandang ayam sekitar tiga tahun lalu.’’
Biasanya, sangkar
burung dan kandang ayam diambil orang untuk dijual di
luar kota. ‘’Kalau tidak,
diambil pengepul. Harga sangkar burung ukuran 60
cm kurang lebih Rp 40.000 sedang yang ukuran 50
cm Rp. 30.000.
Proses pembuatan
kerajinan ini, dimulai dengan membelah bambu gelondongan, lalu dipisahkan
kulitnya, dijemur sekitar jam. Selanjutnya diruncingkan kemudian dimasukkan ke alat penyerut, baru dijemur, dihaluskan, dan dibentuk.
‘’Kendala yang
dihadapi adalah persoalan cuaca dan mendapatkan
bahan baku (bambunya,’’ katanya. ‘’Bahan baku (bambu) beli di agen
sekitar Desa Gulang dan Desa Mejobo,’’ lanjutnya menambahkan.
Ratmi (45), salah satu pedagang yang banyak menjual kerajinan
bambu mengutarakan, banyak orang yang mencari kerajinan-kerajinan bambu,
seperti ekrak, corong, irik, tambir, tampah,
ayakan gabah, kalo, dan kurungan
ayam.’’
Kendati saat ini
banyak alat-alat rumah tangga yang terbuat dari plastik, namun menurut
pengakuan Ratmi yang sudah berjualan kerajinan bambu sejak enam tahun terakhir,
kerajinan bambu masih sangat diminati. ‘’Kerajinan bambu justru banyak dicari, karena
lebih kuat dan tahan lama,’’ tuturnya. (Ichda Rachmawati, Ndaru Retno Wardani, M Mambaul Huda)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar