Minggu, 20 Oktober 2013

SENJAKALA KERAJINAN BAMBU DESA JEPANG



Senjakala Kerajinan Bambu Jepang

KERAJINAN Desa Jepang di Kabupaten Kudus, bisa dibilang sangat populer. Berbagai produksi kerajinan itu, antara lain besek, tambir, tetek, ekrak, kere’, hingga kurungan ayam dan sangkat burung.  Namun nasib kerajinan tradisional turun temurun ini, kini mengkhawatirkan dan terancam punah.
Bahkan, para pengrajin pun tidak ada yang benar-benar ikhlas anaknya meneruskan profesinya menjadi pengrajin bambu. ‘’Kalau bisa nyari pekerjaan lain yang lebih menjanjikan,’’ ujar Sulistiana (36).
Saat ditemui Oasis dia menjelaskan, ia menekuni membuat besek sejak 17 tahun lalu selepas keluar dari bekerja di salah satu perusahaan rokok di Kudus. Ibu tiga anak ini mengisahkan, awal belajar membuat besek dari orang-orang tua pendahulunya.
‘’Dulu belajarnya dari sering melihat orang-orang tua membuat besek. Tidak sulit membuatnya, karena ini kerajinan yang sudah ada turun temurun,’’ katanya saat ditemui di rumahnya. 
Apakah besek tidak tergeser dengan keberadaan kardus di era modern saat ini? ‘’Tidak. Besek masih tetap laku dan banyak peminta, karena ada kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki kardus. Seperti lebih kuat dan tahan saat ditumpuk,’’ terangnya.
Maka tidak heran jika besek ini pemasarannya tidak mengalami kesulitan. Sebab, selalu ada pesanan dan jika tidak ada pesanan, diambil bakul-bakul. ‘’Paling ramai biasanya pas Idul Adha dan maulud Nadi saat ada tradisi golok-golok menthok,’’ jelasnya.
Suwarti (50), ibu dengan empat anak dan enam cucu ini lebih memilih membuat kerajinan tetek ketimbang bekerja di perusahaan rokok. ‘’Tetek biasanya digunakan untuk menjemur mie atau krupuk,’’ tuturnya. 
Proses pembuatan tetek, katanya, tidak jauh berbeda dengan membuat besek. ‘’Tetek anyamannya lebih longgar dan bambunya keras. Ukurannya juga lebih besar. Kalau besek anyamannya rapet dan bambunya halus, ukurannya lebih kecil, hanya tiga jengkal.
Mengenai harga jual, perbuah sekitar Rp. 4.000. ‘’Sehari bisa menganyam paling tidak dua buah, ini kalau sudah mulai proses-proses sebelumnya. Pasar tetek lebih bagus pas musim hujan, karena buat penyimpan mie agar tidak busuk, terangnya.

Masih Dicari
Tutianah (29), pengrajin kerajinan bambu lain, membuat sangkar burung dan kandang ayam. Dia mengaku bergelut dengan kerajinan bambu sejak kecil. ‘’Saya membuat besek sejak kecil. Kalau mengembangkan sangkar burung sekitar satu tahun terakhir, dan kandang ayam sekitar tiga tahun lalu.’’
Biasanya, sangkar burung dan kandang ayam diambil orang untuk dijual di luar kota. ‘’Kalau tidak, diambil pengepul. Harga sangkar burung ukuran 60 cm  kurang lebih Rp 40.000 sedang yang ukuran 50 cm Rp. 30.000.
Proses pembuatan kerajinan ini, dimulai dengan membelah bambu gelondongan, lalu dipisahkan kulitnya, dijemur sekitar jam. Selanjutnya diruncingkan kemudian dimasukkan ke alat penyerut, baru dijemur, dihaluskan, dan dibentuk.
‘’Kendala yang dihadapi adalah persoalan cuaca dan  mendapatkan bahan baku (bambunya,’’ katanya. ‘’Bahan baku (bambu) beli di agen sekitar Desa Gulang dan Desa Mejobo,’’ lanjutnya menambahkan.
Ratmi (45), salah satu pedagang yang banyak menjual kerajinan bambu mengutarakan, banyak orang yang mencari kerajinan-kerajinan bambu, seperti ekrak, corong, irik, tambir, tampah, ayakan gabah, kalo, dan kurungan ayam.’’ 
Kendati saat ini banyak alat-alat rumah tangga yang terbuat dari plastik, namun menurut pengakuan Ratmi yang sudah berjualan kerajinan bambu sejak enam tahun terakhir, kerajinan bambu masih sangat diminati. ‘’Kerajinan bambu justru banyak dicari, karena lebih kuat dan tahan lama,’’ tuturnya. (Ichda Rachmawati, Ndaru Retno Wardani, M Mambaul Huda)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar